Apabila pihak yang dikalahkan tidak mau melaksanakan isi putusan secara suka rela, maka pihak yang menang dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Agama yang memutus perkara
Asas Eksekusi, yaitu :
Eksekusi terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu :
Prosedur Eksekusi, yaitu :
Dalam hal eksekusi putusan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah yang objeknya berada di luar wilayah hukumnya, maka Ketua Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah yang bersangkutan meminta bantuan kepada Ketua Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah yang mewilayahi objek eksekusi tersebut dalam bentuk penetapan. Selanjutnya, Ketua Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah yang diminta bantuan menerbitkan surat penetapan yang berisi perintah kepada Paniera/ Jurusita agar melaksanakan eksekusi di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah tersebut. (Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2010, butir 1)
Dalam hal eksekusi tersebut pada butir (5), diajukan perlawanan baik dari Pelawan tersita maupun dari pihak ketiga, untuk perlawanan tersebut diajukan dan diperiksa serta diputus oleh Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah yang diminta bantuan (Pasal 206 ayat (6) RBg/ Pasal 195 ayat (6) HIR dan butir (2) Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2010)
Dalam hal Pelawan dalam perlawanannya meminta agar eksekusi tersebut pada butir (6) di atas ditangguhkan,maka yang berwenang menangguhkan atau tidak menangguhkan eksekusi itu adalah Ketua Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah yang diminta bantuannya, sebagai pejabat yang memimpin eksekusi, dengan ketentuan bahwa dalam jangka waktu 2 x 24 jam melaporkan secara tertulis kepada Ketua Pengadilan Agama yang meminta bantuan tentang segala upaya yang telah dijalankan olehnya termasuk adanya penangguhan eksekusi tersebut (Pasal 206 ayat (5) dan (7) RBg/ Pasal 195 ayat (5) dan (7) HIR serta butir 3 Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2010)
Dalam hal pelaksanaan putusan mengenai suatu perbuatan, apabila tidak dilaksanakan secara sukarela, harus dinilai dalam sejumlah uang (Pasal 259 RBg/ Pasal 225 HIR) yang teknis pelaksanaannya seperti eksekusi pembayaran sejumlah uang
Jika Termohoan tidak mau melaksanakan putusan tersebut dan Pengadilan tidak bisa melaksanakan walau dengan bantuan alat negara, maka Pemohon dapat mengajukan kepada Ketua Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah agar Termohon membayar sejumlah uang, yang nilainya sepadan dengan perbuatan yang harus dilakukan oleh Termohon
Ketua Pengadilan Agama wajib memanggil dan mendengar Termohon eksekusi dan apabila diperlukan dapat meminta keterangan dari seorang ahli di bidang tersebut
Penetapan jumlah uang yang harus dibayar oleh Termohon dituangkan dalam penetapan Ketua Pengadilan Agama
Apabila putusan untuk membayar sejumlah uang tidak dilaksanakan secara sukarela, makaakan dilaksanakan dengan cara melelang barang milik pihak yang dikalahkan (Pasal 214 s.d Pasal 224 RBg/ Pasal 200 HIR)
Putusan yang menghukum Tergugat untuk menyerahkan sesuatu barang, misalnya sebidang tanah, dilaksanakan oleh Jurusita, apabila perlu dengan bantuan alat kekuasaan negara
Eksekusi tidak bisa dilakukan kedua kalinya apabila barang yang dieksekusi telah diterima oleh Pemohon eksekusi, namun diambil kembali oleh tereksekusi
Upaya yang dapat ditempuh oleh yang bersangkutan adalah melaporkan hal tersebut di atas kepada pihak yang berwajib (pihak kepolisian) atau mengajukan gugatan untuk memperoleh kembali barang (tanah/ rumah tersebut)
Putusan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah atas gugatan penyerobotan tersebut apabila diminta dalam petitum, dapat dijatuhkan putusan serta merta atas dasar sengketa bezit/ Kedudukan berkuasa
Jika suatu perkara yang telah berkekuatan hukum tetap telah dilaksanakan (dieksekusi) atas suatu barang dengan eksekusi riil, tetapi kemudian putusan yang berkekuatan hukum tetap tersebut dibatalkan oleh putusan peninjauan kembali, maka barang yang telah diserahkan kepada proses gugatan kepada pemilik semula sebagai pemulihan hak
Pemulihan hak diajukan Pemohon kepada Ketua Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah
Eksekusi pemulihan hak dilakukan menurut tata cara eksekusi riil. Apabila barang tersebut sudah dialihkan kepada pihak lain, Termohon eksekusi dapat mengajukan gugatan ganti rugi senilai objek miliknya
Apabila putusan belum berkekuatan hukum tetap, kemudian terjadi perdamaian di luar Pengadilan yang mengesampingkan amar putusan dan ternyata perdamaian itu diingkari oleh salah satu pihak, maka yang dieksekusi adalah amar putusan yang telah berkekuatan hukum tetap
Sesuai Pasal 258 RBg/ Pasal 224 HIR ada dua macam grosse yang mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitugrosse akta hipotik dan surat-surat utang
Grosse adalah salinan pertama dan akta autentik salinan pertama ini diberikan kepada kreditur
Oleh karena salinan pertama dan atas pengakuan utang yang dibuat oleh notaris mempunyai kekuatan eksekusi, maka salinan pertama ini harus ada kepala irah-irah yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Salinan lainnya yang diberikan kepada debitur tidak memakai kepala/ irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Asli dari akta (minit) disimpan oleh notaris dalam arsip dan tidak memakai kepala/ irah-irah
Grosse atas pengakuan utang yang berkepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, oleh notaris diserahkan kepada kreditor yang dikemudian hari bisa diperlukan dapat langsung dimohonkan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Agama
Eksekusi berdasarkan grosse akta pengakuan utang fixed loan hanya dapat dilaksanakan, apabila debitur sewaktu ditegur, membenarkan jumlah utangnya itu
Apabila debitur membantah jumlah utang tersebut, dan besarnya utang menjadi tidak fixed, maka eksekusi tidak bisa dilanjutkan. Kreditur, yaitu bank untuk dapat mengajukan tagihannya harus melalui suatu gugatan, yang dalam hal ini, apabila syarat-syarat terpenuhi, dapat dijatuhkan putusan serta merta
Pasal 14 Undang-undang Pelepas Uang (Geldschieters Ordonantie, S. 1938-523), melarang notaris membuat atas pengakuan utang dan mengeluarkan grosse aktanya untuk perjanjian utang-piutang dengan seorang pelepas uang
Pasal 258 RBg/ Pasal 224 HIR, tidak berlaku untuk grosse akta semacam ini
Grosse akta pengakuan utang yang diatur dalam Pasal 258 RBg/ Pasal 224 HIR, adalah sebuah surat yang dibuat oleh notaris antara alamiah/ badan hukum yang dengan kata-kata sederhana yang bersangkutan mengaku, berhutang uang sejumlah tertentu dan ia berjanji akan mengembalikan uang itu dalam waktu tertentu, misalnya dalam waktu 6 (enam) bulan, dengan disertai bunga sebesar 2% sebulan)
Jumlah yang sudah pasti dalam surat pengakuan utang bentuknya sangat sederhana dan tidak dapat ditambahkan persyaratan- persyaratan lain
Kreditur yang memegang grosse atas pengakuan utang yang berkepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, dapat langsung memohon eksekusi kepada Ketua Pengadilan Agama yang bersangkutan dalam hal debitur ingkar janji
Pasal 1 butir (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 menyebutkan bahwa: Hak tanggungan atas tanah beserta benda- benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut “Hak Tanggungan”, adalah jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah milik, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain
Pemberian hak tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut, dan pemberian hak tanggungan tersebut dilakukan dengan pembuatan akta pemberian hak tanggungan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) (Pasal 10 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996)
Pemberian hak tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan, dan sebagai bukti adanya hak tanggungan, kantor pendaftaran tanah menerbitkan sertifikat hak tanggungan yang memuat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (Pasal 13 ayat (1), Pasal 14 ayat (1) dan (2) Undang- undang Nomor 4 Tahun 1996)
Sertifikat hak tanggugang mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan apabila debitur cidera janji maka berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat hak tanggungan tersebut, pemegang hak tanggungan mohon eksekusi sertifikat hak tanggungan kepada Ketua Pengadilan Agama yang berwenang. Kemudian eksekusi akan dilakukan seperti eksekusi putusan yang telah bekekuatan hukum tetap
Atas kesepakatan pemberi dan pemegang hak tanggungan, penjualan objek hak tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan, jika dengan demikian itu akan diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak (Pasal 20 ayat (2) Undang- undang Nomor 4 Tahun 1996)
Pelaksanaan penjualan di bawah tangan tersebut hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/atau pemegang hak tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikit- dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan/atau media massa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan (Pasal 20 ayat (3) Undang- undang Nomor 4 Tahun 1996)
Surat Kuasa membebankan hak tanggungan wajib dibuat dengan akta notaris atau akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), dan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
Eksekusi hak tanggungan dilaksanakan seperti eksekusi putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap
Eksekusi dimulai dengan teguran dan berakhir dengan pelelangan tanah yang dibebani dengan hak tanggungan
Setelah dilakukan pelelangan terhadap tanah yang dibebani hak tanggungan dan uang hasil lelang diserahkan kepada kreditur, maka hak tanggungan yang membebani tanah tersebut akan diroya dan tanah tersebut akan diserahkan secara bersih, dan bebas dari semua beban, kepada pembeli lelang
Jika terlelang tidak mau meninggalkan tanah tersebut, maka berlakulah ketentuan yang terdapat dalam Pasal 218 ayat (2) RBg/ Pasal 200 ayat (11) HIR
Hal ini berbeda dengan penjualan berdasarkan janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri berdasarkan Pasal 1178 (2) BW, dan Pasal 11 ayat (2e) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 yang juga dilakukan melaluio pelelangan oleh Kantor Lelang Negara atas permohonan pemegang hak tanggungan pertama. Janji ini hanya berlaku untuk pemegang hak tanggungan pertama saja. Apabila pemegang hak tanggungan pertama telah membuat janji untuk tidak dibersihkan (Pasal 1210 BW dan Pasal 11 ayat (2j) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan), maka apabila ada hak tanggungan lain- lainnya dan hasil lelang tidak cukup untuk membayar semua hak tanggungan yang membebani tanah yang bersangkutan, maka hak tanggungan yang tidak terbayar itu, akan tetap membebani persil yang bersangkutan, meskipun sudah dibeli oleh pembeli dan pelelangan yang sah. Jadi pembeli lelang memperoleh tanah tersebut dengan beban-beban hak tanggungan yang belum terbayar. Terlelang tetap harus meninggalkan tanah tersebut dan apabila ia membangkang, ia dan keluarganya, akan dikeluarkan dengan paksa
Dalam hal lelang telah diperintahkan oleh Ketua Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah, maka lelang tersebut hanya dapat ditangguhkan oleh Ketua Pengadilan Agama dan tidak dapat ditangguhkan dengan alasan apapun oleh pejabat instansi lain, karena lelang yang diperintahkan oleh Ketua Pengadilan Agama dan dilaksanakan oleh Kantor Lelang Negara, adalah dalam rangka eksekusi, dan bukan merupakan putusan dari Kantor Lelang Negara
Penjualan (lelang) benda tetap harus diumumkan dua kali dengan berselang lima belas hari di harian yang terbit di kota itu atau kota yang berdekatan dengan objek yang akan dilelang (Pasal 217 RBg/ Pasal 200 (7) HIR)
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, butir (1), yang dimaksud dengan “fidusia” adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasan pemilik benda
Jaminan fidusia adalah hak jamian atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khusunya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagaimana agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya
Benda objek jaminan fidusia tidak dapat dibebani hak tanggungan atau hipotek
Pembebanan benda dengan jaminan fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia yang sekurang-kurangnya memuat :
Jaminan fidusia harus didaftarkan oleh penerima fidusia atau kuasanya kepada kantor pendaftaran fidusia, selanjutnya kantor pendaftaran fidusia menerbitkan dan menyerahkan kepada penerima fidusia sertifikat jaminan fidusia yang mencantumkan kata- kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
Apabila terjadi perubahan mengenai hal-hal yang tercantum dalam sertifikat jaminan fidusia penerima fidusia wajib mengajukan permohonan pendaftaran atas perubahan tersebut kepada kantor pendaftaran fidusia, selanjutnya kantor pendaftaran fidusia menerbitkan pernyataan perubahan yang merupakan bagian tak terpisahkan dari sertifikat jaminan fidusia
Pemberi fidusia dilarang melakukan fidusia ulang terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang sudah terdaftar
Jaminan fidusia dapat dialihkan kepada kreditor baru, dan pengalihan tersebut harus didaftarkan oleh kreditor baru kepada kantor pendaftaran fidusia
Jika debitur atau pemberi fidusia cedera janji, eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia dapat dilakukan dengan cara :
Prosedur dan tata cara eksekusi selanjutnya dilakukan seperti dalam eksekusi hak tanggungan